JavaScript is required to view this page. Komunitas Sastrawan Indonesia Kab.Tapin Gelar Seni Budaya Teater

Komunitas Sastrawan Indonesia Kab.Tapin Gelar Seni Budaya Teater



RANTAU, Pentas drama teaterikal monolog yang meluapkan sedikit kritikan kepada penguasa bumi ini di malam appresiasi sastra dan pagelaran drama yang digelar oleh Komunitas Sastra Indonesia Kabupaten Tapin pada Sabtu (18/12) malam kemarin di Gedung Bastari Rantau. Acara tersebut dirangkai dengan peluncuran buku antologi puisi penyair yang ditulis oleh para penyair di daerah ini yang tergabung dalam satu Komunitas Sastra Indonesia Kabupaten Tapin kepada perwakilan perpustakaan dan arsip daerah di Kabupaten Tapin. Acara dihadiri oleh Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia Kabupaten Tapin, H.M.Maskuni, S, Sos, juga dihadiri Ketua I cabang Tapin, A.Kusuari, dan tokoh budaya dan seni di Kabupaten Tapin. Juga di hadiri dari perwakilan Pemkab Tapin seperti Camat Tapin Utara, Kabid Seni dan Budaya Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan Pariwisata Tapin, dan perwakilan dari kantor Perpustakaan Dan Arsip Daerah Tapin.
Acara tersebut sekaligus dirangkai dengan pemberian hadiah kepada pemenang lomba puisi pelajar se-Kabupaten Tapin, dan pementasan puisi pelajar pemenang lomba, yang diakhiri pementasan drama teater monolog berjudul SOS.

Rangkul Suasana Angker Di Dalam Gedung Bastari

Dalam teater monolog berjudul SOS tersebut, sang aktor merangkul keangkeran didalam gedung gelap menjadikan suasana mencekam dan terkesan mistis dengan perpaduan latar belakang panggung, sound system berdecibels tinggi, dan aroma kemenyan berasal dari dupa yang terbakar. Dengan sebilah golok (pisau besar) ia mencabik diri, seraya memanggil sang datu bak dukun di tengah dua cahaya api yang terbakar di atas dua bongkah bambu paring. “Mereka telah berani membongkar perut bumi. Mereka telah mencabik. Mengoyak punggung gunung dan lembah hingga hutan dan riak sungai meleleh.? ” Demikian awal diantaranya synopsis drama teater malam kemarin yang mencoba mengangkat etnik masyarakat pegunungan Meratus yang tergusur oleh mobilitas modern para penguasa bumi.
Yadi Muryadi, aktor teater monolog dalam pentas tersebut menceritakan alur adegan berjudul SOS yang disajikan begitu mistis. Menurutnya, adegan tersebut menggambarkan sisi kehidupan warga di pegunungan meratus dengan ritual yang mereka lakukan, dan kita sebagai seni dan budaya mencoba menggalinya kembali beberapa unsur etnik didalamnya, termasuk ritual yang mereka laksanakan di dalam menghadapi para penguasa bumi yang mencoba menggusur mereka.
Dalam adegan tersebut diceritakan, mereka terlihat marah terhadap para penguasa yang mengusir mereka yang sudah lebih dahulu menempati kawasan adat itu. Penguasa tersebut membawa sebuah alat berat sejenis eksavator dan pasukannya lengkap dengan bekal senjata, dan siap untuk menggarap lahan mereka dan menebang pohon di hutan. Namun masyarakat menolak dengan keras, karena menganggap itu lahan adat nenek moyangnya dan siap berlumuran darah mempertahankannya. Sambil berdalih tak ingin mewariskan kepada generasi berikutnya sebuah bom waktu berupa sebuah lingkungan yang buruk bagi anak cucunya. Seperti hutan yang gundul dan lahan yang rusak akibat penguasa yang melaksanakan aktifitas di tanah adat mereka.
Dalam ritual yang mereka lakukan, mereka kerap menyebutkan datu nenek moyang seperti yang disebutkan, “Nining Dewata Agung ! , Dengarkan…! Buyut Intah Bambang Siwara Telah Bersekutu dengan datung sumalih. Meracuni mata air buyut intah datung ayuh. Mereka sumpahi semua menjadi batu, Hingga nurani kami pun berbunga batu. Mereka serakan ludah-ludah dunia, Dan menghela kami ke penjara kabut yang menghalalkan mendaki puncak sesama untuk bisa melihat matahari.” Demikian awal cerita tersebut.
Category:

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih sudah memberikan komentar di Blog Ini